Isu Terkini

21 Juli: Hari Bersejarah Penanganan COVID-19 di Indonesia?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Boleh jadi, 21 Juli 2020 akan dikenang sebagai tonggak penting dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Sebab pada hari yang sama, kedua juru bicara pemerintah terkait pandemi diganti, pelaporan data positif COVID-19 berubah, dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dibubarkan.

Achmad Yurianto telah menjabat sebagai juru bicara pemerintah terkait penangan COVID-19 sejak 9 Maret 2020, sepekan setelah kasus pertama COVID-19 dilaporkan di Indonesia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia itu tampil di televisi setiap hari, menyampaikan perkembangan terkini tentang situasi pandemi dari Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta.

Sejak Juni 2020, Dr. Yurianto tidak sendirian. Ia ditemani oleh Dr. Reisa Broto Asmoro, seorang ahli medis yang bertugas memberikan pengarahan tentang protokol kesehatan dan pola hidup sehat ke masyarakat. Formasinya gampang: Dr. Reisa akan memberi informasi protokol kesehatan, kemudian dilanjut Dr. Yurianto yang memaparkan upaya penanganan pemerintah serta–ini kuncinya–jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia.

Kini, situasi tersebut berubah. Belum lama ini, terbit Peraturan Presiden 82/2020 tentang Komite Penanganan COVID-19 yang mencopot Dr. Yurianto sebagai jubir dan mengalihtugaskan Dr. Reisa.

Peranan Dr. Yurianto dan Dr. Reisa sebagai jubir pemerintah akan digantikan oleh Wiku Adisasmito. Wiku dikenal sebagai dosen dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dan dianggap pakar dalam isu kebijakan sistem kesehatan serta penanggulangan penyakit menular.

Namun, Perpres 82/2020 tak sekadar mengganti muka pemerintah dalam penanganan COVID-19. Transparansi ke publik serta strategi penanganan pun bergeser secara drastis.

Pemerintah tak lagi mengumumkan angka kematian dan jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia melalui jumpa pers harian yang disiarkan langsung di TV. Metode pelaporan berganti, sehingga informasi terkini soal jumlah kasus COVID-19 kini dilaporkan saja di laman resmi www.covid19.go.id.

Dalam jumpa pers pertama Wiku sebagai jubir pemerintah pada 21 Juli, perubahan ini mulai terasa. Melalui siaran langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden, Wiku sekadar memaparkan pemetaan zona wilayah yang masuk kategori risiko tinggi, sedang, rendah, tidak ada kasus baru, dan tidak terdampak. Seperti dilansir Tirto, Wiku seolah sekadar mengumumkan “kabar baik”.

Perubahan metode pelaporan ini menuai tanggapan beragam dari para pakar penyakit menular. Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad menilai perubahan tersebut “tak masalah”, selama masyarakat masih memiliki akses terhadap informasi terkini terkait jumlah korban COVID-19. Pandangan serupa diutarakan epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya, laporan harian memang “harus ada sebagai tanda akuntabilitas, tapi bisa lewat media lain.”

Tanggapan lebih sarkas diutarakan oleh epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono. Baginya, barangkali keputusan ini terbaik sebab “masyarakat bisa tenang, mungkin masyarakat nggak ngerti juga.” Boleh jadi, masyarakat “bosan” mendapat laporan jumlah kematian dan kasus positif setiap hari. Ia lantas berkelakar: “BNPB kan kerjanya memang menenangkan masyarakat saja, bukan menanggulangi pandemi.”

Selain mengganti metode pelaporan, pemerintah juga melebur fungsi penanganan COVID-19 dengan fungsi pemulihan ekonomi. Perpres 82/2020 membubarkan salah satu lembaga kunci dalam penanganan COVID-19 sejauh ini. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang tadinya dipimpin Letjen Doni Monardo dari BNPB, kini digantikan perannya oleh Komite Penanganan Corona Virus Disease dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartanto,

Komite tersebut terdiri dari tiga divisi: Komite Kebijakan, Satuan Tugas Penanganan COVID-19, dan Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Komite Kebijakan akan dipimpin oleh Menko Airlangga, dengan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana. Satgas Pemulihan Ekonomi dipimpin oleh Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin. Sementara, Satgas Penanganan COVID-19 tetap dipimpin Letjen Doni Monardo.

Komite Kebijakan bertugas mengintegrasikan dan mengkoordinasikan Satgas Penanganan COVID-19 dan Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Praktis, perubahan ini berarti pemerintah melebur upaya penanganan COVID-19 dan upaya pemulihan ekonomi nasional. Peleburan ini semakin nampak sebab Budi Gunadi, ketua Satgas Pemulihan Ekonomi, juga muncul setiap hari bersama Wiku untuk menjadi jubir pemerintah terkait pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi.

Pembentukan tim anyar ini dikritik oleh pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, komite tersebut “sangat kental nuansa penanganan ekonomi dibandingkan kesehatannya”, padahal pandemi belum sampai puncak. Baginya, pembentukan Komite tersebut berpotensi meminggirkan kepentingan kesehatan masyarakat.

Bagi Trubus, Komite tersebut dibentuk semata-mata karena pemerintah panik karena ancaman resesi ekonomi akibat pandemi. Apalagi, negara tetangga Singapura baru saja melaporkan kontraksi ekonomi lebih dari 40 persen pada kuartal kedua 2020. Bank Indonesia memprediksi bahwa tahun ini, pertumbuhan ekonomi akan ada di kisaran minus 4-4,8 persen pada kuartal II 2020. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo pun menyatakan bahwa Indonesia mau tidak mau harus memperbaiki performa ekonominya di kuartal ketiga 2020 bila tak ingin jatuh ke situasi resesi.

Pada 22 Juli 2020, Indonesia mencatat 1.882 kasus baru positif COVID-19 dalam sehari. Sekarang, ada total 91.751 kasus di seluruh Indonesia, dengan rincian 4.459 orang meninggal dan 50.255 pasien dinyatakan sembuh.

Share: 21 Juli: Hari Bersejarah Penanganan COVID-19 di Indonesia?